Jumat, 31 Juli 2009

Menjadi Orang NU di Tengah Komunitas Penentang Tradisi NU


Penganut Islam yang dianggap modern dalam prakteknya justru anti kebudayaan. Padahal menghargai
kebudayaan adalah ciri dari kemodernan itu sendiri. Saat berdakwah, mereka dan giat disiarkan di Indonesia, ia
menentang warisan-warisan kebudayaan Jawa seperti slametan, tahlilan, ziarah kubur dan sebagainya yang dituduh
sebagai takahyul, bid'ah dan churafat yang disingkat dengan (TBC) yang diasosiasikan dengan penyakit rakyat yang
berbahaya.
"Bagaiman mungkin saya membiarkan kakek saya yang saya cintai meninggal dengan membiarkan begitu saja, tanpa
saya mendoakan, sebagai ungkapan rasa hormat, rasa haru, rasa cinta terhadap beliau. Tetapi ini dianggap musyrik,
padahal dalam doa dan zikir saya saya tidak menyebut nama kakek, melainkan menyebut asma Allah dan asma Nabi. Di
mana letak musyriknya, karena itu saya tetap melaksanakan amalan peninggalan nenek moyang saya," kata Slamet
belum lama ini.
Hinaan semacam itu dialami oleh keluarga Djarot di Yogyakarta yang semua lingkungannya adalah pengikut
Muhammadiyah Islam modirnis kearaban. Sementara keluarganya menganut Islam ahlussunnah ala NU yang bernuansa
kejawen. Keluarganya ini dianggap orang berpenyakit TBC, sehingga setiap kali bertemu dengan tetanggaanya selalu
ditanya apakah sudah sembuh TBC-nya.
Walaupun penghinaan begitu gencar bahkan terus dilakukan hingga sekarang, komitmen Slamet dan seluruh keluarga
besar Djarot untuk tetap mengamalkan tradisi-tradisi NU tidak bergeser. Karena tradisi-tradisi itu dinilainya bukan hanya
menyangkut soal doktrin tetapi juga soal rasa.
"Kebetulan amalan itu direstui dan dianggap amalan yang soleh oleh NU, maka keluarga saya bisa melakasanakan
ajaran dan falsafah jawa karena mengikuti tradisi NU. Dengan mengikuti tradisi NU Islam saya bisa sesuai dengan kultur
Indonesia dan kultur Jawa khususnya. Bukan kultur Arab. Kita berislam cukup dengan syahadat dan menjalankan rukun
Iman dan Islam. Selebihnya kita cari dan kembangkan dalam lingkungan alam dan tradisi sendiri, tidak harus menjadi
Arab," tambah cucu kiai Sudjak, tokoh NU Yogyakarta generasi Kiai Hasyi Asy’ari itu.
Menurutnya, kita perlu belajar dari kearifan tradisi sendiri, sehingga keberagamaan kita bisa lebih mendalam, lebih tepat
dan lebih ramah. "Kalau kita sudah terpola oleh tradisi Arab ada kecenderungan akan melenyapkan semua yang berbau
non Arab yang dianggap bid’ah dan tidak Islami. Memang dalam kultur Arab ada kecenderungan hegemonic.
Perilaku ini yang akan mendangkalkan keberagamaan kita."
Actor dan sutradara terkenal ini mengatakan, kita berislam tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan
kita, derngan mencari kesempurnaan hidup.

http://buntetpesantren.org